Posts tagged kultum universitas telkom

Taqwa dan cinta dunia

0

Abu Bakar Ash-Shiddiq RA pernah mengungkapkan nasihat untuk kita semua, agar tidak terperosok dalam kegelapan yang bernama cinta dunia (hubb al-dunya). Ini didasari oleh ungkapan Rasulullah SAW yang diriwayatkan Baihaqi, ”Cinta dunia adalah biang segala kesalahan.” Dunia hanyalah hiasan sementara yang bisa menjerumuskan jika kita salah orientasi.
Alloh SWT mengingatkan kita dalam Q.S Al Kahfi : 46, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”

Kegelapan yang diungkapkan Abu Bakar, menyebabkan hawa nafsu tidak terkendali dan akan merusak segala aspek ibadah kita. Karena hawa nafsu cenderung membawa kita pada hal-hal yang kurang baik. Apa solusinya? Penerang dari kegelapan cinta dunia adalah ketaqwaan. Selepas ramadhan, derajat ketaqwaan yang menjadi tujuan dalam berpuasa, semoga tercapai secara paripurna. Salah satu nilai tertinggi ibadah puasa ialah pembebasan manusia dari ketergantungan terhadap dunia materi (Abdul Munir Mulkan).

Sejalan dengan itu, saya tertarik dengan salah satu ungkapan Abu Bakar yang lain, yakni “Orang yang cerdas ialah orang yang taqwa”
Sesungguhnya, hanya Alloh yang mampu mengukur derajat taqwa seseorang. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13). Namun demikian, parameter tersebut bisa dilihat dari bagaimana orientasi kita terhadap dunia.

Diantara kita (biasanya) bersepakat bahwa kita tidak cinta dunia. Sayangnya, itu terjadi hanya dalam kondisi normal. Bagaimana saat kondisi tertekan atau kekhawatiran sedang melanda, kita bisa mengukur sendiri… 🙂 Seberapa besar kecintaan kita pada dunia.

Sesungguhnya, dunia bukanlah tujuan.

Dunia ini hanyalah perantara untuk mencapai akhirat yang lebih baik. Sayyidina Ali pernah mengungkapkan: “Janganlah kalian menuntut sesuatu dari dunia yang lebih besar dari pada apa yang bisa menyampaikanmu ke akhirat.”

Semoga kita menjadi orang yang berhasil menguasai dunia, BUKAN yang dikuasai dunia… Aamiin YRA

Happy eid mubarak

0

TextArt_150716200106

Waktu senantiasa berlalu dan tak akan pernah kembali. Karenanya sangat tepat jika Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa yang paling jauh dari kita semua adalah masa lalu. Rasanya baru kemarin kita bersemangat mempersiapkan diri untuk memasuki bulan Ramadhan, bulan maghfirah yang penuh berkah. Kini, Ramadhan telah berlalu meninggalkan kita, dan kita tidak pernah tahu apakah kita masih bisa berjumpa dengan Ramadhan berikutnya atau tidak. Semoga Alloh mempertemukan kita dengan Ramadhan berikutnya, aamiin YRA. Pada setiap akhir Ramadhan, sebagian besar orang-orang shalih senantiasa meneteskan air mata karena Ramadhan telah berlalu meninggalkannya dan mereka khawatir tidak akan bertemu lagi bulan Ramadhan yang akan datang.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah berkata dalam sebuah khutbah shalat ‘Idul Fitri, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah berpuasa karena Allah selama tiga puluh hari, berdiri melakukan shalat selama tiga puluh hari pula, dan pada hari ini kalian keluar seraya memohon kepada Allah agar menerima amalan tersebut.” Salah seorang di antara para jama’ah terlihat sedih. Tak lama kemudian, seseorang bertanya kepadanya, “Sesungguhnya hari ini adalah hari bersuka ria. Kenapa engkau malah terlihat bermuram durja? Ada apa gerangan?”
Orang itu menjawab, “Sesungguhnya, ucapanmu adalah benar. Namun demikian, aku hanyalah hamba yang diperintahkan oleh Rabb-ku untuk mempersembahkan suatu amalan kepada-Nya. Sungguh aku tidak tahu apakah amalanku diterima atau tidak.” Ia begitu khawatir dengan kondisi ini.
Kekhawatiran serupa juga pernah dirasakan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Menurut suatu riwayat, di suatu penghujung Ramadhan, Sayyidina Ali bergumam, “Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang amalannya diterima agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang amalannya ditolak agar aku dapat ‘melayatnya’.”
Hal serupa juga pernah diungkapkan oleh Abdullah bin Mas’ud RA, “Siapakah gerangan di antara kita yang amalannya diterima untuk kita beri ucapan selamat, dan siapakah gerangan di antara kita yang amalannya ditolak untuk kita ‘layati’. Wahai orang yang amalannya diterima, berbahagialah engkau. Dan wahai orang yang amalannya ditolak, keperkasaan Allah adalah musibah bagimu.”

Ungkapan-ungkapan diatas, sangatlah wajar. Karena tidak ada yang bisa menjamin bahwa kita bisa berjumpa kembali dengan bulan yang penuh berkah, rahmat, dan maghfirah pada tahun berikutnya. Namun demikian, terkadang kita tidak merasakan kesedihan saat Ramadhan meninggalkan kita. Bahkan diantara kita terkadang larut dalam kegembiraan yang berlebihan dalam menyambut kedatangan Hari Raya ‘Iedul Fitri. Semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa diberikan kesadaran dalam menjalani kehidupan fana’ ini, sehingga segala amalan ramadhan kita diterima Alloh SWT, aamiin YRA.

Mimpi dan Harapan

0

mimpi

Mantan presiden India, Dr. APJ Abdul Kalam, pernah mengungkapkan, “You have to dream before your dreams can come true”. Saya sependapat dengan beliau. Namum demikian, perlu diingat bahwa mimpi setiap orang bisa bermuara pada dua kemungkinan, yakni harapan atau angan-angan.  Mimpi seseorang akan berubah jadi sebuah harapan, saat orang tersebut melakukan ikhtiar untuk mewujudkannya. Sebaliknya, jika orang tersebut tidak melakukan  apapun, maka mimpi itu hanya akan menjadi angan-angan.

Dalam keterbatasan kita sebagai makhluk, terkadang kita memandang mimpi sebagai asa terbentang dengan mengesampingkan hal lain. Tatkala mimpi itu sendiri sebagai objek bergerak, bukan tak mungkin panah harapan yang sudah didesain dengan ikhtiar maksimal pun  bisa meleset. Dalam perjalanan waktu, ketidakpastian dan kerentanan akan perubahan merupakan keniscayaan. Tentunya kesadaran itu mutlak diperlukan, capaian dari suatu harapan belum tentu bisa terwujud seperti yang dibayangkan sang pemimpi. Segalanya sangat bergantung pada kehendak-Nya. Karena itu, sudah sepatutnya kita meletakan segala usaha  dalam mewujudkan mimpi itu adalah sebagai bagian dalam ibadah kita kepada-Nya. Bukan semata-mata berfokus bahwa ikhtiar yang dilakukan adalah untuk pencapaian segala harapan.

Dalam pencapaian harapan, seringkali kita berupaya dan berdoa. Kita senantiasa mengharap kepada Alloh agar diberikan kelapangan.
Ada hal yang menarik di kitab Al Hikam terkait dengan kelapangan. Ibnu Atha’illah lebih mengkhawatirkan kelapangan daripada kesempitan.
Saat lapang, nafsu bisa memainkan peranannya dalam perasaan senang sesorang.
Saat dalam kesempitan, nafsu tidak bisa berbuat apa-apa.
Bisa jadi, Alloh memberikan kesenangan dunia, namun menghalangimu dari petunjuk-Nya.
Bisa jadi, Alloh menghalangimu dari kesenangan dunia, namun membukakan jalan kebaikan yang lain sehingga kita senantiasa dalam ridho-Nya.

Tanpa meninggalkan asa dalam memaksimalkan ikhtiar, tentunya ungkapan indah “La Hawla wa la Quwwata illa Billah, wallahu’ala kulli syai’in qodir“, sangat pantas dikedepankan dalam rangka mengingatkan posisi kita sebagai makhluk-Nya.   Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah, dan Allah adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Semoga kita  termasuk orang-orang yang senantiasa bersyukur dan bersabar terhadap segala sesuatu yang kita hadapi.. aamiin YRA

image’s cited from http://slrdone.blogdetik.com/

ilmu dan amal

2

Screen Shot 2014-08-12 at 8.38.24 AM

Seperti diketahui bahwa perang Badr merupakan salah satu perang besar bagi kaum muslim saat itu.

Para pahlawan Islam saat itu begitu luar biasa melawan para kafir, dan akhirnya mereka mendapat kemenangan.

Rasulullah ingin sekali memberikan penghargaan kepada para pahlawan ini. Lalu Rasulullah mengumpulkan mereka disuatu tempat pada hari jumat.

Pada saat para pahlawan Badr datang ke tempat pertemuan tersebut, tempat telah penuh sesak.

Orang-orang pada tidak mau memberi tempat kepada yang baru datang itu, sehingga para pahlawan itu terpaksa berdiri.

Rasulullah meminta berdiri orang-orang itu (yang lebih dulu duduk), sedang para pahlawan Badr disuruh duduk di tempat mereka.

Orang-orang yang diiminta pindah tempat merasa tersinggung perasaannya. Lalu mereka berkata, “Saya sudah disini dari tadi pagi ya Muhammad, kenapa kamu menyuruh kami pergi”

 

Karenanya, pada hari Jumat itu, Alloh menurunkan wahyunya seperti yang diungkapkan dalam surat Al Mujadalah ayat 11, yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman apabila dikatakan kepadamu : ‘Berlapang-lapanglah dalam majlis’, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberimu kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan : ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

 

Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merupakan rangkuman dari sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu.

Sumber ilmu menurut ajaran Islam :

·  Qauliyah,  yaitu ilmu yang berasal dari ayat-ayat yang Allah firmankan dalam kitab-kitab-Nya dan menjadi pedoman hidup bagi manusia.

·  Kauniyah, yakni ilmu yang berasal karena kesempurnaan manusia yang diberikan akal  oleh Allah swt untuk berpikir dan menganalisa semua yang ada  diatas dunia.

Namun demikian, saat ini,  terkadang kauniyah begitu mendominasi.

Karenanya diperlukan kesadaran penuh dari kita dalam memahami ilmu yang bersifat kauniyah.

Jelas bahwa  manusia dengan akal, pikiran dan perasaan adalah ciptaan-Nya.

Sungguh absurd saat kauniyah lebih dikedepankan daripada qauliyah.

 

Kenapa diwajibkan  menuntut ilmu?

Karena kalau kita mengerjakan sesuatu amal  tanpa  tahu ilmunya, maka amalan  kita tidak ada nilainya dan tidak diterima oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Sepertihanya diuangkapkan oleh Imam Ghazali : “Ilmu tanpa amal adalah gila, dan pada masa yang sama, amalan tanpa ilmu merupakan suatu amalan yang tidak akan berlaku dan sia- sia.”

Dalam kitab Talimul Mutaallim, Syekh az-Zarnuji,  dijelaskan  bahwa banyak sekali umat Islam di masanya yang akan  mengalami kegagalan dalam menuntut ilmu. Kegagalan tersebut  bukanlah kegagalan lulus atau tidak lulus sepertihalnya dalam ujian sekolah/kampus. Namun  lebih jauh lagi, kegagalan tersebut disebabkan karena kita tidak dapat menjadikan ilmu yang diperoleh itu  bermanfaat. Disinilah pentingnya kebermanfaatan untuk lingkungan kita.

Menurut Syekh Zarnuji, kegagalan ini disebabkan oleh beberapa hal yakni kekeliruan motivasi dalam  menuntut ilmu (niat), kurangnya ibadah, dan rendahnya sikap tawakkal (berserah diri kepada Allah),  kurang wara` (menjauhi makan barang haram), kurang zuhud (melepaskan ketergantungan terhadap materi). Sementara seluruh hal di atas merupakan syarat-syarat dan jalan yang dibutuhkan oleh setiap orang dalam mencapai ilmu pengetahuan yang diridhai Allah SWT.

 

Oleh karena itu, tidal berlebihan, munculnya ungkapan yang sering kita dengar, yakni  ”Man zada ilman wa lam yazdad hudan lam yazdad minallahi illa bu`dan.”

Artinya: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya akan tetapi tidak bertambah petunjuknya maka ia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali semakin jauh dari Allah.”

Banyak sekali yang dipandang berilmu namun ‘tak kuasa’ untuk mengamalkan ilmunya.

Hal ini menjadikan ilmu yang dimilikanya menjadi sebuah pengetahuan kembali.

Karenanya, pengetahuan –>  ilmu –>  amal shaleh.

Tentunya, kualitas amal senantiasa tidak luput dari perhatian. Kita dituntut tak sekedar mengamalkan ilmu namun lebih dari itu, ilmu yang dimiliki selayaknya diamalkan dengan ikhlas dan benar. Amalan tidak akan diterima sampai seseorang itu ikhlas dan benar dalam beramal.  Yang   dimaksud ikhlas adalah amalan tersebut dikerjakan hanya karena Allah. Yang dimaksud benar dalam beramal adalah selalu mengikuti petunjuk-Nya. Jelas bahwa, orientasinya bukan untuk kesenangan atau kepentingan dunia. Ingat bahwa  dunia adalah kesenangan yang memperdaya  (red. dikala senja menjelang)

 

Imam Al Ghozali mengatakan bahwa barang siapa berilmu, mau mempraktekkan dan membimbing manusia dengan ilmunya bagaikan matahari. Selain menerangi dirinya juga menerangi orang lain dan bagaikan minyak kasturi yang harum yang menyebarkan keharumannya kepada orang lain yang berpapasan dengannya.

Jika sudah berilmu, terkadang jadi terjebak untuk “merasa pintar” padahal lebih baik “pintar merasa”. 
sehingga diharapkan kita menjadi orang yang berempati bagi masyarakat sekitar. Karenanya berhati-hatilah. Jangan sampai segala peringatan Alloh dalam ayat berikut menimpa kita. “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. ” (QS Al Furqan:23).

 

*Saya menuliskan judul “ilmu dan amal” dengan huruf kecil semua… karena ilmu dan amal kita hanya  terjadi karena rakhmat dan pentunjuk Alloh. Tanpa-Nya… sungguh tiada daya dan upaya sehingga kita  berillmu dan mampu mengamalkannya.

 

 

 

 

Go to Top